Aneh, Desa Ini Bernama Kuburan
Bayu Adi Wicaksono, Dody Handoko
Selasa, 13 Oktober 2015, 06:43 WIB
VIVA.co.id - Makam Mbah Sayyid Sulaiman terletak di di Dusun Rejo Slamet, Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Kompleks makam yang luasnya sekitar dua hektare itu sebenarnya terletak persis di perbatasan antara Dusun Rejo Slamet dan Desa Betek.
Namun karena sudah terlanjur dikenal makam tersebut terletak di Desa Betek, para pengunjung pun hingga saat ini menyebut makam Mbah Sayyid Sulaiman tersebut di Desa Betek.
Padahal, makam tersebut ada di Dusun Rejo Slamet, tepatnya Desa Mancilan. Bahkan, ada cerita sebelum makam Mbah Sayyid ini dikenal banyak orang, Dusun Rejo Slamet bernama Dusun Kuburan (Makam).
Legenda Bayi yang Dibuang di Laut
"Dusun Rejo Slamet dulu adalah Dusun Kuburan sehingga ketika orang mau ke Rejo Slamet pasti mengatakan mau ke kuburan atau ke makam. Lantaran orang-orang dulu merasa nama itu tidak enak didengar lalu diganti dengan nama Rejo Slamet," ujar Dimas Cokro Pamungkas, budayawan Jombang.
Di kompleks makam Mbah Sayyid ini terdapat makam Mbah Alief. Ada aturan, sebelum ziarah ke makam Mbah Sayyid sebaiknya ziarah ke Makam Mbah Alif terlebih dulu. Karena semasa masih hidup, tujuan Mbah Sayyid adalah ziarah ke makam Mbah Alif.
Hampir setiap hari makam Mbah Sayyid ramai dikunjungi peziarah. Akan tetapi pada malam Jumat legi, banyak peziarah yang memilih menginap. Apalagi di kompleks makam ini terdapat sebuah masjid yang cukup besar, semakin menambah kerasan pengunjung yang ingin berburu berkah Mbah Sayyid.
Ditakuti Belanda
Mbah Sayyid Sulaiman adalah putera sulung dari Sayyid Abdurrahman dari Yaman yang menikah dengan Syarifah Khadijah, Putri Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Dua adik Mbah Sayyid Sulaiman adalah Sayyid Abdurrahim dan Sayyid Abdul Karim.
Legenda Bayi yang Dibuang di Laut
Menginjak dewasa, Belanda sangat takut dengan pengaruh dakwah Sayyid Sulaiman. Maka belanda membuang Mbah Sayyid muda ke Krapyak, Pekalongan. Dari Pekalongan, Mbah Sayyid kemudian hijrah ke Solo untuk berdakwah.
Setelah berdakwah di Solo kemudian beliau melanjutkan perjalanan dan berangkat ke Surabaya untuk berguru ke Sunan Ampel. Usai nyantri di Sunan Ampel beliau kemudian berguru ke Mbah Sholeh Semendhi di Segoropuro Pasuruan. Setelah mondok, beliau tinggal di Kanigoro, Pasuruan hingga mendapat julukan Pangeran Kanigoro.
Setelah menikah dengan putri Mbah Sholeh Semendhi beliau kembali ke Cirebon. Namun lantaran suasana Cirebon tidak kondusif disebabkan karena pertikaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri Sultan Abdul Qohar, maka beliau memutuskan kembali ke Pasuruan.
Akan tetapi baru tiba di Pasuruan, beliau dipanggil oleh Kesultanan Solo yang berterima kasih karena pernah ditolong oleh beliau. Sekembalinya dari Solo beliau berpamitan kepada istrinya untuk ke Sunan Ampel, namun baru sampai di Mojoagung Jombang, beliau sakit hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di kampung tersebut.
© VIVA.co.id