Prosesi Doa Ruwahan |
Kini wacana purifikasi ke-Islaman ala Arab Saudi modern telah
mewabah, melabeli semua hal yang dianggap tidak ke-Arab-an sebagai
bidah. kegiatan keagamaan yang tidak dilakukan orang arab dan apa yang tidak ada di arab dianggap sesat, Perlahan namun pasti Islam Arab modern itu telah mengalahkan
tradisi lokal dan satu persatu Islam kultural menuju kepunahan: tak
akan ada lagi kemandirian dan kearifan lokal. Tulisan ini utamanya
bertujuan untuk sekedar menjadi arsip bagi salah satu dari berbagai
kearifan tradisi islam jawa yang terancam musnah, sekaligus mengajak
kita merenungkan kembali relasi budaya dan agama macam apa yang
seharusnya kita bentuk demi terciptanya masyarakat yang mandiri dan
demokratis.
Ruwahan di bulan Sya’ban (atau Ruwah) dalam budaya Islam Jawa adalah
tradisi yang selalu dilaksanakan sepuluh hari sebelum bulan Puasa
(Ramadhan). André Möller dalam bukunya Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar
(2005) mencatat bahwa ritus Jawa ini—yang selalu dituduh oleh kaum
puritan sebagai satu dari banyak biang TBC (Tahyul, Bidah, Churafat)
orang Islam Jawa—merupakan bentuk iman kesalehan individual dan
kolektif. Pada ruwahan inilah sejumlah ritus digelar guna menyambut
Ramadhan: dari acara nisfu syaban, arak-arakan keliling kota, bersih
desa yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di
malam harinya, kemudian esok paginya ziarah kubur, hingga berakhir pada
acara padusan tepat di penghujung hari menjelang Puasa.
Semua rangkaian acara ruwahan iniberangkat dari keimanan pada Tuhan
agar mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) dan mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana), seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran
(ziarah kubur) di bulan Ruwah. Ini adalah pengejawahtahan dari hadis
yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah
meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun acara ritus bersih
kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang)
adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga
sanak-saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling
memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang
suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung
seminggu sebelum puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial
di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran
perekonomian. Bahkan barangkali tradisi megengan inilah yang kemudian menciptakan pasar kaget ruwahan di kota-kota santri di Jawa seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus. Biasanya isi hantaran tradisi megengan
di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan
apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket
merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis
bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa, dan apem berarti
jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.
Tak heran dahulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan.
Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya
berselang satu minggu. Pada mulanya pasar kagetan ini utamanya
diperuntukkan agar mereka dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama
awal-awal minggu di bulan puasa. Tradisi ritus ruwahan ini ditutup
dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk
membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Ramadhan.
Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang
mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah
ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang
dibangun untuk mengukuhkan iman ke-Islaman yakni mendirikan masjid,
pasar, dan mengikat tali persaudaraan. Hal pertama yang dilakukan oleh
Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang
Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar yang biasanya setelah shalat Dhuhur atau Ashar dengan dilanjutkan slametan bersama di langgar atau masjid setempat.
Ritual slametan, kenduren, dan megengan di bulan
Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, ritus ini
mendistribusikan rezeki dari perkotaan tempat mereka bekerja ke
kota-kota kelahiran mereka, bahkan ke kampung-kampung di Jawa. Yang
terakhir ritus-ritus ruwahan itu sendiri telah memperat rasa
persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang
mudik (Muhajirin). Sebuah ritus yang akan diulang kembali oleh
orang-orang Islam Jawa saat menutup ritual puasa Ramadhan di Bulan
Syawal nanti.
Wacana puritanisme (ingat tidak hanya Islam!) yang memandang ruwahan
sebagai tradisi yang penuh semangat TBC dan berubahnya gaya hidup
modern kapitalistik lambat-laun telah merubah wajah dan watak spirit
tradisi ruwahan ini. Tidak hanya di Jawa, tradisi ruwahan yang dikenal
di dunia Melayu Nusantara ini juga semakin luntur nilai-nilai kearifan
lokalnya. Apalagi penyimpangan perilaku penghayat tradisi ini juga
mulai terasa setelah kebutuhan untuk ritual ruwahan jatuh ke tempat
kedua setelah berbelanja untuk slametan atau kenduren
menjadi lebih utama sehingga harus berhutang. Satu poin fatal yang
sering dijadikan alasan atas ketidak-beresan tradisi ini oleh kaum
puritan dan modernis. Meski pada umumnya hal ini dikarenakan wacana
ruwahan hanya diukur dari tradisi Islam Puritan dengan segala dakwaan
otensitas dan kesakralan ajaran Islamnya. Ditambah lagi, wacana
tersebut dikisruhkan dengan gaya hidup yang meng-komodifikasikan ritual
megengan dan pasar kaget ruwahan. Akankah tradisi ruwahan
Jawa akan dilupakan dan punah? Sejarah yang akan menjadi saksinya,
namun paling tidak penulis telah mengarsipkannya di artikel ini bagi
generasi Jawa yang akan datang, dan masalah bid'ah atau tidak bukankah ada hadits yang berbunyi "Innamal a'malu binniyat", jadi, kalau agama kita mengatakan kalau segala sesuat bergantung pada niatnya, dan dalam ruwatan kita beri niat ibadah, kirim doa buat orang tua dan saudara yang meninggal, hablumminannas dengan hantaran buat tetangga, mensucikan diri sebelum memasuki ramadlan, bersyukur atas segala nikmat, adakah niat buruk yang terdapat pada ritual ruwatan? saya kira tidak, dan saya pribadi akan melaksanakan dengan berpedoman niat tersebut. Wallahu a'lam bissawab.